Epistasis dan Hipostasis
Fenomena ini diungkapkan kali pertama oleh illiam Bateson dan R.C Punnett. Mereka mengawinkan berbagai macam ayam dengan memerhatikan bentuk jengger. Persilangan antara ayam berjengger tipe rose (mawar) dengan tipe pea (ercis) menghasilkan 100% ayam berjengger alnut. Semula, munculnya ayam berjengger alnut diduga merupakan sifat intermedier (sifat antara) yang muncul jika gennya heterozigot. Akan tetapi, jika ayam F1 berjengger alnut tersebut dikawinkan sesamanya, dihasilkan empat fenotipe dengan perbandingan 9:3:3:1. Selain fenotipe jengger ayam rose, pea, dan alnut muncul satu sifat baru lain, yakni single (tunggal).
Jengger tipe alnut dan single merupakan tipe jengger baru yang muncul dan tidak dijumpai pada kedua induk. Hal ini disebabkan oleh adanya interaksi antargen. Adanya empat sifat beda dengan perbandingan 9:3:3:1 memberikan petunjuk bahwa terdapat dua pasang alel yang berbeda ikut mempengaruhi bentuk jengger ayam.
Sepasang alel (RR) menentukan tipe jengger rose dan sepasang alel (PP) menentukan tipe jengger pea. Interaksi antar gen rose dan pea menghasilkan fenotipe alnut (R-P-) dan single (rrpp). Gen R dominan terhadap alel r dan gen P dominan terhadap p. Satu atau sepasang gen R dominan terhadap gen r, dalam hal ini menghasilkan fenotipe baru, yakni alnut. Sepasang gen rrpp menghasilkan fenotipe baru, single. Meskipun terdapat dominansi antara gen P dan gen R, gengen tersebut bukanlah gen sealel (Suryo, 2001: 131).
Peristiwa sebuah atau sepasang gen yang menutupi atau mengalahkan ekspresi gen lain yang bukan sealel disebut epistasis. Adapun gen yang kalah disebut hipostasis. Terkadang, peristiwa epistasis dan hipostasis menghasilkan fenotipe baru (Starr Taggart, 1995:179).
Polimeri
elson Ehle membuktikan polimeri ketika menyilangkan gandum kulit merah dengan kulit putih. Generasi F1 hasil perbandingan tersebut menghasilkan 100% gandum kulit merah. Persilangan F1 menghasilkan generasi F2 dengan perbandingan kulit merah dan putih sebesar 15:1. Dari perbandingan tersebut dapat diduga bahwa persilangan yang dilakukan merupakan persilangan dihibrid.
Perbandingan 15:1 merupakan modifikasi dari hukum Mendel mengenai persilangan dihibrid. Perbandingan 15:1 dihasilkan dari modifikasi perbandingan (9+3+3) : 1. Penelitian lebih lanjut memperlihatkan bahwa gen pembawa sifat merah adalah dominan dan terdapat dua pasang alel yang menentukan sifat kulit merah. Perhatikan persilangan berikut.
Persilangan Polimeri
Berdasarkan hasil generasi F2, diketahui bahwa terdapat 15 dari 16 kemungkinan perkawinan menghasilkan fenotipe merah, karena mengandung gen dominan M. Adapun satu kemungkinan menghasilkan fenotipe putih karena tidak memiliki gen dominan M. Hasil generasi F2 juga mengungkapkan bahwa semakin banyak gen dominan M, semakin tua warna kulit gandum tersebut. Jika terjadi sebaliknya, warna kulit gandum semakin putih.
Dari percobaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa polimeri merupakan peristiwa dipengaruhinya satu ciri oleh banyak gen yang berdiri sendiri dan terjadi secara akumulatif. Semakin banyak gen yang memengaruhi, semakin nyata perbedaannya. Contoh lain polimeri terjadi pada warna iris mata manusia dan warna kulit.
Kriptomeri
Kriptomeri kali pertama diungkapkan oleh Corens pada saat menyilangkan bunga inaria marrocana galur murni warna merah dan putih. Generasi F1 hasil persilangan didapatkan semua bunga berwarna ungu. Kemudian bunga tersebut disilangkan dengan sesamanya menghasilkan generasi F2. Hasilnya, didapatkan fenotipe bunga ungu, merah, dan putih dengan perbandingan 9:3:4. Dari hasil tersebut diduga kuat bahwa persilangan tersebut merupakan persilangan dihibrida. Berdasarkan penelitian Correns, gen pembentuk antosianin dominan terhadap gen tanpa antosianin. Pigmen antosianin berwarna merah jika berada dalam sitoplasma sel yang bersifat asam. Jika sitoplasma bersifat basa, pigmen berwarna ungu. Sifat asam basa sitoplasma ini dipengaruhi oleh gen lain. Gen penyebab sitoplasma basa ini bersifat dominan.
Berdasarkan dua ciri, pembentukan antosianin dan derajat keasaman sitoplasma menyebabkan fenotipe bunga warna ungu tersembunyi. arna ungu akan tampak jika kedua gen dominan muncul. Karena itulah peristiwa ini disebut kriptomeri (kriptos tersembunyi). Perhatikan persilangan berikut.
Persilangan Kriptomeri
Perbandingan fenotipe F2 9:3:4 terlihat tidak sesuai dengan perbandingan fenotipe dihibrid menurut Mendel. Sebenarnya perbandingan tersebut hanyalah modifikasi dari hukum Mendel, yaitu 9:3 : (3+1).
Komplementer
Fenomena gen komplementer kali pertama diamati oleh . Bateson dan R.C. Punnet saat mengamati persilangan bunga athyrus odoratus. Komplementer merupakan interaksi gen yang saling melengkapi. Jika salah satu gen tidak muncul, sifat yang dimaksud juga tidak muncul atau tidak sempurna.
Pada bunga athyrus odoratus, terdapat dua gen yang saling berinteraksi dalam memunculkan pigmen pada bunga.
Gen C : membentuk pigmen warna
Gen c : tidak membentuk pigmen warna
Gen P : membentuk enzim pengaktif pigmen
Gen p : tidak membentuk enzim pengaktif pigmen
Berdasarkan gen-gen tersebut, warna pada bunga hanya akan timbul jika kedua gen, penghasil pigmen (C) dan penghasil enzim pengaktif pigmen (P), muncul. Jika salah satu atau kedua gen tidak muncul, bunga tidak berwarna (putih). Perhatikan persilangan berikut.
Persilangan Komplementer
Berdasarkan hasil persilangan, generasi F2 menghasilkan perbandingan fenotipe ungu dan putih sebesar 9:7. Sepintas, tampak hal tersebut tidak sesuai hukum Mendel. Akan tetapi, sebenarnya perbandingan 9:7 tersebut hanya modifikasi dari perbandingan 9 : (3+3+1).
Fenomena ini diungkapkan kali pertama oleh illiam Bateson dan R.C Punnett. Mereka mengawinkan berbagai macam ayam dengan memerhatikan bentuk jengger. Persilangan antara ayam berjengger tipe rose (mawar) dengan tipe pea (ercis) menghasilkan 100% ayam berjengger alnut. Semula, munculnya ayam berjengger alnut diduga merupakan sifat intermedier (sifat antara) yang muncul jika gennya heterozigot. Akan tetapi, jika ayam F1 berjengger alnut tersebut dikawinkan sesamanya, dihasilkan empat fenotipe dengan perbandingan 9:3:3:1. Selain fenotipe jengger ayam rose, pea, dan alnut muncul satu sifat baru lain, yakni single (tunggal).
Jengger tipe alnut dan single merupakan tipe jengger baru yang muncul dan tidak dijumpai pada kedua induk. Hal ini disebabkan oleh adanya interaksi antargen. Adanya empat sifat beda dengan perbandingan 9:3:3:1 memberikan petunjuk bahwa terdapat dua pasang alel yang berbeda ikut mempengaruhi bentuk jengger ayam.
Sepasang alel (RR) menentukan tipe jengger rose dan sepasang alel (PP) menentukan tipe jengger pea. Interaksi antar gen rose dan pea menghasilkan fenotipe alnut (R-P-) dan single (rrpp). Gen R dominan terhadap alel r dan gen P dominan terhadap p. Satu atau sepasang gen R dominan terhadap gen r, dalam hal ini menghasilkan fenotipe baru, yakni alnut. Sepasang gen rrpp menghasilkan fenotipe baru, single. Meskipun terdapat dominansi antara gen P dan gen R, gengen tersebut bukanlah gen sealel (Suryo, 2001: 131).
Peristiwa sebuah atau sepasang gen yang menutupi atau mengalahkan ekspresi gen lain yang bukan sealel disebut epistasis. Adapun gen yang kalah disebut hipostasis. Terkadang, peristiwa epistasis dan hipostasis menghasilkan fenotipe baru (Starr Taggart, 1995:179).
Polimeri
elson Ehle membuktikan polimeri ketika menyilangkan gandum kulit merah dengan kulit putih. Generasi F1 hasil perbandingan tersebut menghasilkan 100% gandum kulit merah. Persilangan F1 menghasilkan generasi F2 dengan perbandingan kulit merah dan putih sebesar 15:1. Dari perbandingan tersebut dapat diduga bahwa persilangan yang dilakukan merupakan persilangan dihibrid.
Perbandingan 15:1 merupakan modifikasi dari hukum Mendel mengenai persilangan dihibrid. Perbandingan 15:1 dihasilkan dari modifikasi perbandingan (9+3+3) : 1. Penelitian lebih lanjut memperlihatkan bahwa gen pembawa sifat merah adalah dominan dan terdapat dua pasang alel yang menentukan sifat kulit merah. Perhatikan persilangan berikut.
Persilangan Polimeri
Berdasarkan hasil generasi F2, diketahui bahwa terdapat 15 dari 16 kemungkinan perkawinan menghasilkan fenotipe merah, karena mengandung gen dominan M. Adapun satu kemungkinan menghasilkan fenotipe putih karena tidak memiliki gen dominan M. Hasil generasi F2 juga mengungkapkan bahwa semakin banyak gen dominan M, semakin tua warna kulit gandum tersebut. Jika terjadi sebaliknya, warna kulit gandum semakin putih.
Dari percobaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa polimeri merupakan peristiwa dipengaruhinya satu ciri oleh banyak gen yang berdiri sendiri dan terjadi secara akumulatif. Semakin banyak gen yang memengaruhi, semakin nyata perbedaannya. Contoh lain polimeri terjadi pada warna iris mata manusia dan warna kulit.
Kriptomeri
Kriptomeri kali pertama diungkapkan oleh Corens pada saat menyilangkan bunga inaria marrocana galur murni warna merah dan putih. Generasi F1 hasil persilangan didapatkan semua bunga berwarna ungu. Kemudian bunga tersebut disilangkan dengan sesamanya menghasilkan generasi F2. Hasilnya, didapatkan fenotipe bunga ungu, merah, dan putih dengan perbandingan 9:3:4. Dari hasil tersebut diduga kuat bahwa persilangan tersebut merupakan persilangan dihibrida. Berdasarkan penelitian Correns, gen pembentuk antosianin dominan terhadap gen tanpa antosianin. Pigmen antosianin berwarna merah jika berada dalam sitoplasma sel yang bersifat asam. Jika sitoplasma bersifat basa, pigmen berwarna ungu. Sifat asam basa sitoplasma ini dipengaruhi oleh gen lain. Gen penyebab sitoplasma basa ini bersifat dominan.
Berdasarkan dua ciri, pembentukan antosianin dan derajat keasaman sitoplasma menyebabkan fenotipe bunga warna ungu tersembunyi. arna ungu akan tampak jika kedua gen dominan muncul. Karena itulah peristiwa ini disebut kriptomeri (kriptos tersembunyi). Perhatikan persilangan berikut.
Persilangan Kriptomeri
Perbandingan fenotipe F2 9:3:4 terlihat tidak sesuai dengan perbandingan fenotipe dihibrid menurut Mendel. Sebenarnya perbandingan tersebut hanyalah modifikasi dari hukum Mendel, yaitu 9:3 : (3+1).
Komplementer
Fenomena gen komplementer kali pertama diamati oleh . Bateson dan R.C. Punnet saat mengamati persilangan bunga athyrus odoratus. Komplementer merupakan interaksi gen yang saling melengkapi. Jika salah satu gen tidak muncul, sifat yang dimaksud juga tidak muncul atau tidak sempurna.
Pada bunga athyrus odoratus, terdapat dua gen yang saling berinteraksi dalam memunculkan pigmen pada bunga.
Gen C : membentuk pigmen warna
Gen c : tidak membentuk pigmen warna
Gen P : membentuk enzim pengaktif pigmen
Gen p : tidak membentuk enzim pengaktif pigmen
Berdasarkan gen-gen tersebut, warna pada bunga hanya akan timbul jika kedua gen, penghasil pigmen (C) dan penghasil enzim pengaktif pigmen (P), muncul. Jika salah satu atau kedua gen tidak muncul, bunga tidak berwarna (putih). Perhatikan persilangan berikut.
Persilangan Komplementer
Berdasarkan hasil persilangan, generasi F2 menghasilkan perbandingan fenotipe ungu dan putih sebesar 9:7. Sepintas, tampak hal tersebut tidak sesuai hukum Mendel. Akan tetapi, sebenarnya perbandingan 9:7 tersebut hanya modifikasi dari perbandingan 9 : (3+3+1).